Rabu, 18 Maret 2009

GUNUNG KAWI



Geografis Desa Wonosari adalah merupakan Daerah yang strategis karena merupakan Daerah Wisata terkenal yang dikunjungi oleh Wisatawan Domestik dan Manca Negara. Luas wilayah Desa Wonosari kurang lebih 1.200.334 M²

Jumlah Penduduk Desa Wonosari : 6.679 jiwa
1. Laki-laki : 3.288 jiwa
2. Perempuan : 3.391 jiwa

Luas wilayah menurut penggunaannya :
1. Pemukiman umum : 95,200 km2
2. Pertanian : 220,100
3. Perkebunan : 313,100
4. Hutan lindung : 532

5. Bangunan
A. Perkantoran : 1,000
B. Sekolah : 2,500
C. Perkantoran : 0,625
D. Pasar : 0,250
E. Terminal : 0,800
F. Jalan : 7,500

6. Rekreasi dan Olah raga
A. Lapangan Sepak bola : 2,000
B. Lapangan Volly Ball : 0,400
C. Taman Rekreasi : 3,000

7. Lain-lain
A. Sungai : 17,109
B. Tempat ibadah : 1,750
C. Makam : 3,000

Adapun Batas-batas Desa Wonosari sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan perhutani
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Balesari
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kebobang
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Blitar

Desa Wonosari terdiri dari 4 Dusun :
- Dusun Wonosari terdiri dari 7 RW / 15 RT
- Dusun Sumbersari terdiri dari 3 RW / 8 RT
- Dusun Pijiombo terdiri dari 2 RW / 6 RT
- Dusun Kampung Baru terdiri dari 2 RW / 6 RT
B. Kondisi Topografis
Bahwa keadaan atau kondisi tanah di Desa Wonosari sangatlah subur sehingga sangat cocok untuk pertanian maupun perkebunan, dari sektor perkebunan dihasilkan cengkeh dan kopi, dari sektor pertanian dihasilkan palawija ( Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar ), pisang, dll.

C. Kondisi Demografi
Letak Demografis Desa Wonosari berada di lereng Gunung Kawi. Pada ketinggian 800 M DPL, dengan temperatur udara rata-rata antara 20-30 C.

D. Kondisi Sosial Ekonomi Desa Wonosari
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Wonosari semakin hari semakin meningkat dengan beraneka ragam mata pencaharian seperti petani, pedagang, peternak, usaha bidang jasa, dll.

E. Potensi Sumber Daya Alam Desa Wonosari
- Pertanian
- Perkebunan
– Daerah Wisata.

Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan). Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaanya, terutama menyangkut tentang kekayaan.
Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka. dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai cerita bohong, kepalsuan, dan hal-hal yang berbau dongeng (tahayul). Dalam bahasa Inggris, myth yang mengadopsi bahasa Latin mythus berarti penuturan khayali belaka.Antropolog memandang mitos sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk menjelaskan alam lingkungan di sekitarnya, dan juga sejarah masa lampaunya. Dalam hal ini, mitos dianggap sebagai semacampelukisan atas kenyataan dalam bentuk yang disederhanakan sehingga dipahami oleh awam (Ruslani, 2006: 5). Namun mitos, bagi kalangan penganut strukturalisme-fungsional juga dianggap penting karena berfungsi sebagai penyedia rasa makna hidup yang membuat orang yang bersangkutan tidak menjadi sia-sia hidupnya. Perasaan bahwa hidup ini berguna dan bertujuan lebih tinggi daripada pengalaman keseharian merupakan unsur penting dalam kebahagiaan.
Biasanya lonjakan masyarakat yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi ( hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:

1.Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.

2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama 'janjam'. Mungkin ingin menganalogkan dengan air zamzam dari Padang Arafah yang memiliki aneka khasiat. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membikin seseorang menjadi awet muda.

3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet. Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
Pejuang Diponegoro
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo, yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam meninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo setiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.
Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis. Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.

Sabtu, 31 Januari 2009

Misteri Gunung Kawi


Gunung Kawi, sebuah lokasi wisata ikon kota Malang yang dipercaya membawa berkah memang selalu membawa keberuntungan. Anda tidak percaya ? percayalah.

Anda akan menjadi orang yang tidak beruntung bila ke Malang tidak mampir ke Gunung Kawi, apalagi nanti malam itu Jumat Legi.

Gunung Kawi memang selama ini dipercaya membawa berkah. Siapa saja yang datang ke tempat itu, berharap segala usahnya, bisnis dan perjodohan dapat mengalir dengan mulus. Para politikus yang berambisi menjabat sebagai kepala daerah juga seringkali menggelar hajatan ke Gunung Kawi.

Ada seorang nenek yang tinggal di Kediri Jawa Timur keturunan Tionghwa. Mereka sangat percaya dengan Gunung Kawi yang memang membawa keberuntungan dalam berbisnis. Bisnis mertua memang lancar begitu ia pulang dari ritual di Gunung Kawi, gunung yang tingginya kurang lebih 800 meter dan berada di desa Wonosari Kecamatan Wonosari Malang Jawa Timur itu.

Kini nenek memilih menjadi seorang Moslem khusuk. Usaha toko yang menjual kebutuhan rumah tangga tidak lagi sebesar yang dulu. Bukan berarti lantas ia tidak pernah lagi ke Gunung Kawi, tetapi memang karena umurnya telah lanjut apalagi keempat anak-anaknya enggan meneruskan usahanya itu dan memilik berkarier di bidang perbankan.

Sejak tahun 1910, banyak orang keturunan Tionghoa yang "ngalap rejeki" di Gunung Kawi. Ong Hok Liong, pendiri pabrik rokok Bentoel di Malang juga sering berkunjung di Gunung Kawi.

Ia sering mengajak istrinya Liem Kiem Kwie Nio untuk bersemedi di dua makam Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono yang dikenal keramat di Gunung Kawi.

Sebenarnya, kedua tokoh itu bukanlah seorang keturunan Tionghwa, namun merupakan 2 dari 75 pengikut Pangeran Dipenogoro yang melarikan diri ke Malang pasca penangkapan Pangeran Dipenogoro oleh Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels atas perintah Jenderal de Kock pada 26 Maret 1830. 

Dari Magelang, Pangeran Dipenogoro sendiri kemudian Batavia setelah itu di Menado dan terakhir diasingkan di Makassar hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855. 

Ketika di Malang yang saat itu masih masuk dalam karasidenan Pasuruan, Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono bersama rekan-rekannya tidak melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda, malah menyiarkan agama Islam. 

Prasasti di Pasarean Gunung Kawi yang bertuliskan dalam bahasa Jawa dan satu lagi bertuliskan tulisan latin menceritakan aktifitas Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono. 

Lalu mengapa kedua makam itu menjadi sangat spesial bagi Ong Hok Liong dan beberapa masyarakat keturunan Tionghwa lainya ? Padahal di Jawa Timur sendiri banyak tempat pemakaman penyiar agama Islam. 

Pertanyaan itu hingga kini masih misterius.

Ong, juga mungkin masyarakat Tionghwa lainnya tidak mau ambil pusing soal sejarah itu. Ong tetap percaya memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk beritual di kedua makam itu membawa berkah bagi usaha rokok yang mulai dirintisnya. Apalagi Ong sering mengalami kegagalan dalam memasarkan rokok buatannya yang terus melesu. Mulai dari rokok merek tjap Boeroeng, Kelabang, Kendang, Toerki, Djeroek Manis dan lain-lain. 

Usaha Ong tidaklah sia-sia. Suatu malam, saat beritual, Ong bermimpi melihat seorang penjual bentul. Ketika terbangun ia menceritakannya kepada penjaga makam, dan kemudian atas saran dan petunjuk penjaga makam, Ong mengganti produknya dengan nama Bentoel. Tahun 1947, pabrik rokok Bentoel mencapai kesuksesan yang luar biasa. 

Hingga kini, rokok Bentoel menjadi produk andalan kota Malang yang produknya diisap oleh ribuan perokok di Indonesia. Bentoel juga menjadi sponsor klub sepak bola Arema Malang kebanggaan kera Ngalam (bahasa Kawilan, dibalik arek Malang). 

Keuntungan Penduduk Desa 
Ternyata benar juga bunyi pesan singkat rekan tadi. Saya beruntung bisa berkunjung di Gunung Kawi. Meskipun tidak menggelar hajatan, namun saya puas memotret satu per satu kehidupan di malam Jumat Legi di Gunung Kawi. 

"Silakan beli bunga Mas, murah kok hanya Rp 2000 saja per bungkusnya, " teriak pedagang bunga bersahutan. Sementara di bagian sisi lain, puluhan pengemis duduk sambil menyodorkan topinya meminta uang kepada pengunjung.

"Dulu taipan Liem Sioe Liong sering membagikan uang Rp 5000,- kepada siapa saja termasuk para pengemis. Pak Ong juga ketika sukses membangun semua fasilitas di Gunung Kawi dan sering menggelar tanggapan wayang, " kata Munaji (40) warga desa setempat yang menjadi pemandu saya. 

Munjadi itu hafal benar seluk beluk areal wisata ritual Gunung Kawi. Ia lahir dan besar di tempat itu. Bahkan, ia sempat menjadi preman yang mencicipi aliran uang yang ada di Gunung Kawi dengan memungut uang keamanan dari pengusaha hotel yang ada di sekitar Gunung Kawi. 

Sekarang Munaji telah meninggalkan dunia preman, ia memilih bekerja sebagai penjual bakso Malang di kota Semarang Jawa Tengah 13 tahun lamanya. 

Di sekitar Gunung Kawi memang dikenal sebagai kampung para penjual bakso. Mereka tidak saja berjualan di Jawa Timur, namun merantau luar kota dari Jakarta hingga ke Kalimantan. Menurut cerita sebelum penjual bakso ini merantau untuk menjajakan dagangannya, mereka sering meminta restu di kedua makam ini dengan harapan usahanya bisa lancar di tempat yang menjadi perantauannya itu. 

Meskipun lama meninggalkan kampung halamannya, namun hampir semua pedagang, yang mayoritas penduduk sekitar Gunung Kawi, mengenalnya. Pantas saja, saya dibebaskan membayar uang parkir kendaraan. Padahal jikau malam Jumat Legi tarif untuk parkir kendaraan bisa dua kali lipat.

Harga itu bisa 10 kali lipat jikau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan untuk tarif sewa hotel, ada beberapa hotel yang mematok tarif lebih mahal dibandingkan dengan hotel berbintang kelas I di Jakarta setiap hari raya besar tertentu. Kalaupun hari biasa tarifnya antara Rp 120 ribu sampai Rp 200 ribu. 

Meskipun biaya yang dikeluarkan wisatawan tidalah murah, namun tetap saja pengunjung di tempat itu tidak pernah berubah. Gunung Kawi selalu padat pengunjung.

"Sebagian masyarakat di sekitar Gunung Kawi sangat bergantung kepada Gunung Kawi. Mereka hidup berkecukupan, bahkan menjadi orang kaya dari hasil menjual barang dan jasa, " kata Munaji. 

Yayasan Ngesti Gondo, lembaga yang secara resmi menjadi pewaris tanah Pasarean dan berhak menyandang jabatan "pengadeg juru kunci makam", memberikan kesempatan bagi warga desa setempat untuk berdagang di Gunung Kawi.

Bagi mereka yang tidak mempunyai modal untuk membuka usaha, kata Munaji, bisa menjadi guide bahkan preman yang meminta 'pajak keamanan' dari beberapa hotel ataupun usaha lainnya. Sebagai imbalannya, preman itu menjamin keamanan pengunjung hotel. 

"Dulu saya bisa mendapatkan uang Rp 5 juta per bulan tanpa harus bekerja apapun. Saya tinggal meminta setoran ke beberapa hotel, " kata Munaji. 

Tidak hanya Munaji saja yang mendapatkan cicipan aliran uang disana, Rubaidah (56), petugas dapur yang memasak keperluan selamatan juga mendapatkan rejeki besar di setiap malam Jumat legi dan hari-hari besar lainnya. 

"Hari ini saya menggoreng 700 ayam dan 300 kambing. Jumlah ini naik 70 persen dibandingkan hari biasa. Ya, ini memang malam keberuntungan saya karena setelah memasak ini saya akan mendapatkan uang lelah dari pihak pengelola, " katanya yang sudah bekerja di Gunung Kawi belasan tahun lamanya. 

Akulturasi
Seperti yang sudah saya katakan, saya memang beruntung bisa berkunjung ke Gunung Kawi. Sebuah berkah tersendiri ketika disana dapat melihat akulturasi budaya China dan Jawa. 

Sebelum bertugas menjual dupa untuk sembayangan, Sukirman (50) merias diri dengan busana Jawa. Kemudian ia berlari melayani pengunjung yang hendak melakukan sembayangan di sebuah pendopo. 

"Sebagian besar karyawan yang bekerja di sini diwajibkan memakai busana Jawa, " katanya kepada kami.

Sukirman yang telah bekerja hampir 20 tahun itu mengaku senang melayani semua pengunjung termasuk warga keturunan Tionghwa. Selain mendapatkan gaji dari pihak pengelola, ia banyak menerima angpao dari pengunjung sebagai tanda terima kasih telah melayani dengan baik. 

Sukirman pun juga bertugas menjaga api puluhan lilin raksasa, yang harga sebijinya bisa mencapai Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. Ia harus menjaga agar api di lilin tetap menyala karena diyakini berkaitan dengan kelangsungan bisnis sang empunya lilin. Jika api itu sampai mati, dipercaya sebagai pertanda matinya bisnisnya. 

Jika lilin yang bisa bertahan sampai setahun itu hampir habis, Sukirman menghubungi pemilik lilin untuk mengganti lilin tersebut. Terkadang pemiliknya datang dan mengganti, namun tidak sedikit pula yang cukup mentransfer uang kepada penjaga untuk menggantinya. 

"Disini tidak ada diskriminasi suku. Baik itu Jawa ataupun Tionghwa sama saja karena tujuannya cuma satu yaitu berdoa, " katanya. 

Suasana percampuran budaya China dan Jawa memang terlihat sejak awal masuk ke lokasi wisata ritual Gunung Kawi. Di gerbang pintu masuk misalnya, desaign gerbang mirip dengan bangunan China dengan bertuliskan tulisan Jawa. 

Begitu juga dengan bentuk pendapa persembanyangan, bangunan dibangun modal bangunan Jawa namun penuh dengan aksesori dari China, seperti lampion dan tulisan huruf Tionghwa. 

Selain bangunan dengan modifikasi China dan Jawa, suasana di sepanjang jalan mirip dengan kawasan di Pecinan. Banyak restoran, toko barang antik dan aksesori maupun penjual kelontong yang menawarkan barang beraneka ragam khas Jawa dan China. 

Ada penjual batu akik, penjual api lilin raksana dan perlengkapan ritual masyarakat Tionghwa. Di sana juga tampak keramaian suara kocokan dan bunyi gemeretak lemparan kartu ciamsi, hiruk pikuk peramal nasib jangka pendek dan suara gamelan Jawa yang mengiringi pagelaran wayang kulit. 

Pemerintah daerah kabupaten Malang sendiri berkomitmen melestarikan seluruh budaya yang ada di Gunung Kawi yang menjadi ikon kota Malang. Untuk menarik wisatawan, pemerintah telah mengagendakan gebyar wisata ritual setiap perayaan 1 Muharram. 

Salah satu acara atraktif yang ditampilkan adalah pawai kreasi‘ogoh-ogoh’ atau patung yang berbentuk raksasa sebagai simbul keangkaramurkaan. Patung yang dibuat selanjutnya di bakar, namun sebelumnya diarak terlebih dahulu oleh warga dari lapangn desa dan berakhir di makam Gunung Kawi.